SEKRETARIAT:AULA Sunan Geseng Jl.Brigjend Katamso IV/03 Kediri Jatim. Phone (0354)683667 e-mail :dzikrurohmah@yahoo.com http://dzikrurrohmah.blogspot.com

BAROKAHAN BULAN MUHARAM 1432 H

Minggu, 26 Oktober 2008

MA’RIFAT ALLAH Melalui Asma’ul Husna

Manusia betapapun kuasa dan kuatnya pasti suatu ketika mengalami ketakutan, kecemasan dan keperluan. Memang pada saat kekuasaan dan kekuatan itu menyertainya, banyak yang tidak merasakan sedikit keperluan pun, tetapi ketika kekuasaan dan kekuatan meninggalkannya, ia merasa takut atau cemas dan pada saat itu ia memperlukan ‘sesuatu’ yang mampu menghilangkan ketakutan dan kecemasannya itu. Boleh jadi pada tahap awal ia mencari ‘sesuatu’ itu pada makhluk, tetapi jika keperluannya tidak terpenuhi, pastilah pada akhirnya ia akan mencari dan bertemu dengan kekuatan yang berada di luar alam raya. Itulah Tuhan dengan bermacam-macam nama yang disandang-Nya.

Dialah yang di yakini dapat memenuhi keperluan manusia, menutupi kekuarangannya, menghilangkan kecemasannya dan sebagainya yang merupakan keperluan makhluk. Apa yang dikemukakan di atas, disahkan oleh Al Quran antara lain dengan firmanNya :

“Wahai umat manusia, kamulah yang sentiasa berhajat kepada Allah dalam segala perkara, sedang Allah Dialah sahaja Yang Maha Kaya, lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Fathir 35: 15).
PENCARIAN DAN PENGENALAN TUHAN
Jika Anda ingin berinteraksi dengan seseorang, tentulah Anda perlu mengenalnya, siapa dia serta apa nama maupun sifat-sifatnya ? Tuhan yang mencipta, yang diharapkan bantuanNya serta yang kepadaNya bertumpu segala sesuatu, pastilah lebih perlu dikenal.
“Yang melihat/mengenal Tuhan, pada hakekatnya hanya melihatNya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi kalbu yang bersih. Mampukah Anda dengan membaca kumpulan syair seorang penyair, atau mendengar gubahan seorang komposer,.. dengan melihat lukisan pelukis atau pahatan pemahat, mampukah Anda dengan melihat hasil karya seni mereka, mengenal mereka tanpa melihat mereka secara langsung ? Memang Anda bisa mengenal selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi, Anda dapat membayangkannya sesuai dengan kemampuan Anda membaca karya seni, namun Anda sendiri pada akhirnya akan sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi Anda menyangkut para seniman itu, adalah bersifat pribadi dan merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang lain yang berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain.
Kalaupun ada yang sama, maka persamaan itu dalam bentuk gambaran umum menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau demikian itu adanya dalam memandang seniman melalui karya-karya mereka, maka bagaimana dengan Tuhan, sedang Anda adalah setetes dari ciptaanNya ?” (Abdul Karim Alkhatib, dalam Qadiyat Al-Uluhiyah Bainal Falsafah wad Din).
Kalau Anda masih berkeras untuk mengenalnya maka lakukanlah apa yang dikemukakan di atas, tetapi yakinlah bahwa hasilnya akan jauh lebih sedikit dari apa yang Anda peroleh ketika ingin mengenal para seniman itu. Bukankah hasil karya mereka terbatas, itupun belum tentu semuanya dapat Anda jangkau sedang hasil karya Tuhan sedemikian banyak sehingga mana mungkin Anda akan mampu mengenal-Nya walau pengenalan yang serupa dengan pengenalan terhadap seniman-seniman itu.

Sebenarnya jika Anda mahu, ada jalan yang tidak berliku-liku, tidak pula jauh jaraknya. Pandanglah matahari ketika akan terbenam, bentangkanlah mata ke samudera lepas, Anda akan terkagum-kagum oleh keindahan dan keagungannya dan pada akhirnya Anda akan sampai kepada pengenalan Ilahi. Atau ambillah satu makhluk Tuhan Mari mendengar suara wahyu yang menjelaskan :

“Wahai umat manusia, inilah diberikan satu misal perbandingan maka dengarlah mengenainya dengan bersungguh-sungguh. Sebenarnya mereka yang kamu seru dan sembah, selain dari Allah itu, tidak akan dapat mencipta seekor lalat walaupun mereka berhimpun beramai-ramai untuk membuatnya; dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak dapat merebutnya kembali dari lalat itu lemahlah yang menyembah, dan yang disembah”. (QS. Al Hajj 22:73).

Apakah setelah ini, Anda masih akan menjawab terus dengan akal fikiran Anda apa dan siapa Tuhan ? Tapi yakinlah bahwa apa yang diinformasikan oleh akal Anda hanya setitis dari samudera. Kalaulah semua hasil pemikiran manusia dikumpul, maka itupun hanya bagaikan sedetik dari waktu yang terbentang ini.
Kerana itu ketika Abu Bakar Ash Shiddiq ditanya “ Bagaimana Engkau mengenal Tuhanmu?” Beliau menjawab “Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tak ada, Aku tak mengenalNya”. Selanjutnya ketika beliau ditanya, “Bagaimana Anda mengenal-Nya?” Beliau menjawab, “Ketidak mampuan mengenalnya adalah pengenalan”.
Tetapi apakah dengan demikian persoalan telah selesai ? Jelas tidak, kerana kita ingin berinteraksi denganNya, kita tidak hanya ingin patuh, tetapi juga kagum dan cinta. Jika demikian, dibutuhkan proses pengenalan.
Dalam Quran, Allah tidak diperkenalkan sebagai sesuatu yang bersifat materi, kerana jika demikian pastilah ia berbentuk, dan bila berbentuk pasti terbatas dan memerlukan tempat, dan ini menjadikan Dia bukan Tuhan kerana Tuhan tidak memerlukan sesuatu dan tidak pula terbatas. Disisi lain pasti juga bila demikian Dia ada di satu tempat dan tidak ada di tempat lain. Pasti Dia dapat dilihat oleh sebahagian dan tidak terlihat oleh sebahagian yang lain. Semua ini akan mengurangi kebesaran dan keagunganNya, bahkan bertentangan dengan ide tentang Tuhan yang ada dalam benak manusia.
Tapi ini bukan berarti bahwa Al Quran memperkenalkan Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat ideal atau immaterial, yang tidak dapat diberi sifat atau digambarkan dalam kenyataan, atau dalam keadaan yang dapat dijangkau akal manusia. Karena jika demikian, bukan saja hati manusia tidak akan tenteram terhadapNya, akalnya pun tidak dapat memahamiNya, sehingga keyakinan tentang wujud dan sifat-sifatNya tidak akan berpengaruh pada sikap dan tingkah laku manusia.
Kerana itu Al Quran menempuh cara pertengahan dalam memperkenalkan Tuhan. Dia, menurut Al Quran antara lain Maha Mendengar, Maha Melihat, Hidup, Berkehendak, Menghidupkan dan Mematikan, dan bersemayam di atas Arsy, Tangan Allah diatas tangan mereka (manusia) bahkan Nabi saw menjelaskan bahawa Dia bergembira, berlari dan sebagainya yang kesemuanya mengantar manusia kepada pengenalan yang dapat terjangkau oleh akal, atau potensi-potensi manusia. Namun demikian ada juga penjelasan Al Quran yang menyatakan bahwa :

“Tidak ada yang sesuatupun yang serupa denganNya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy Syura 42:11)

Sehingga, jika demikian ‘apapun yang tergambar dalam benak, atau imajinasi siapa pun tentang Allah maka Allah tidak demikian’. Dengan membaca dan menyadari makna ayat ini, luluh semua gambaran yang dapat dijangkau oleh indra dan imajinasi manusia tentang zat Yang Maha Sempurna itu.
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya oleh sahabatnya Zi’lib Al yamani, “Amirul mukminin, apakah engkau pernah melihat Tuhanmu ? Apakah aku menyembah apa yang tidak kulihat ?” , jawab beliau. “Bagaimana engkau melihatNya ?”, “Dia tidak dapat dilihat dengan pandangan mata, tetapi dijangkau oleh akal dengan hakikat keimanan”.

Al- Asma’ul Husna

Kalau sifat-sifat baik dan terpuji yang disandang manusia/makhluk seperti hidup, kuasa/mampu, pengetahuan, pendengaran, penglihatan, kemuliaan, kasih sayang, pemurah, perhatian dan sebagainya maka pastilah Yang Maha Kuasa pun memiliki sifat-sifat baik dan terpuji dalam kapasitas dan substansi yang lebih sempurna, kerana jika tidak demikian, apa arti keperluan manusia kepadaNya ?
Terdapat empat ayat yang menggunakan redaksi “Al Asma’ul Husna’, yaitu :

“Hanya milik Allah nama-nama (asmaul husna), maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut nama-nama (asmaul husna) itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al A’raf 7:180)

“Katakanlah: Serulah nama Allah atau Ar-Rahman, yang mana sahaja kamu serukan; kerana bagi-Nyalah nama-nama yang baik Dan janganlah kamu menyaringkan bacaan solatmu, dan janganlah kamu perlahankannya, dan gunakanlah sahaja satu cara yang sederhana antara itu”. (QS. Al Isra’ 17:110)

“Dialah Allah yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. ( QS. Al Hashr 59:24)

“Allah! Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, bagi-Nyalah segala nama yang baik.” (QS. Taha 20:8)

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda:
"Sesungguhnya Allah s.w.t mempunyai 99 nama, iaitu seratus kurang satu, barangsiapa menghitungnya (menghafal dan menjaganya) masuklah ia kedalam syurga" - Riwayat Bukhari
Kata Al Asma adalah bentuk jamak dari kata Al-Ism yang biasa diterjemahkan dengan ‘nama’. Ia berakar dari kata assumu yang bererti ketinggian, atau assimah yang bererti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus harus dijunjung tinggi.

Apakah nama sama dengan yang dinamai, atau tidak, bukan disini tempatnya diuraikan perbedaan pendapat ulama yang berkepanjangan, melelahkan dan menyita tenaga itu. Namun yang jelas bahwa Allah memiliki apa yang dinamaiNya sendiri dengan Al Asma dan bahawa Al Asma itu bersifat husna ( terbaik ).

Kata al husna yang bererti terbaik. Penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlatif ini, menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik bila dibandingkan dengan yang lainnya, apakah yang baik selainNya itu wajar disandangNya atau tidak?. Sifat Pengasih misalnya adalah baik. Ia dapat disandang oleh makhluk/manusia, tetapi kerana bagi Allah nama yang terbaik, maka pastilah sifat kasihNya melebihi sifat kasih makhluk, dalam kapasiti kasih mahupun substansinya. Disisi lain sifat pemberani merupakan sifat yang baik disandang oleh manusia namun sifat ini tidak wajar disandang Allah kerana keberanian mengandung kaitan dalam substansinya dengan jasmani sehingga tidak mungkin disandangkan kepadaNya. Ini berbeda dengan sifat kasih, pemurah, adil dan sebagainya. Kesempurnaan manusia adalah jika ia memiliki keturunan tetapi sifat kesempurnaan manusia ini tidak mungkin pula disandangNya kerana ini mengakibatkan adanya unsur kesamaan Tuhan dengan yang lain, disamping menunjukkan keperluan, sedang hal tersebut mustahil bagiNya.
Demikianlah kata Husna menunjukkan bahwa nama-namaNya adalah nama-nama yang amat sempurna tidak sedikitpun tercemar oleh kekurangan.

Nama/sifat-sifat yang disandangNya itu, terambil dari bahasa manusia, namun kata yang digunakan saat disandang manusia pasti selalu mengandung makna keperluan serta kekurangan, walaupun ada diantaranya yang tidak dapat dipisahkan dari kekurangan tersebut dan ada pula yang dapat dipisahkan. Keberadaan pada satu tempat atau arah, tidak mungkin dapat dipisahkan dari manusia dan dengan demikian ia tidak disandangkan kepada Tuhan, kerana kemustahilan pemisahannya itu. Ini berbeda dengan kata “kuat”. Bagi manusia, kekuatan diperoleh melalui sesuatu yang bersifat materi yakni adanya otot-otot yang berfungsi baik, dalam erti kita memerlukan hal tersebut untuk memiliki kekuatan. Keperluan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kebesaran Allah, sehingga sifat kuat buat Tuhan hanya dapat difahami dengan menyingkirkan dari nama/sifat tersebut hal-hal yang mengandung makna kekurangan atau keperluan itu.

ALLAH

Allah adalah nama Tuhan yang paling popular. Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata “Allah” tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujudNya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepadaNya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon.

Tetapi banyak ulama berpendapat bahwa kata “Allah” asalnya adalah “Ilah” yang dibubuhi huruf alif dan lam, dan dengan demikian Allah merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya sedang Ilah adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural) Alihah. Dalam bahasa Indonesia, keduanya dapat diterjemahkan dengan tuhan, tetapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil tuhan, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf Tuhan.

Alif dan lam yang dibubuhkan pada kata Ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu (dalam hal ini kata Ilah) merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut disini sama dengan The dalam bahasa Inggris. Kedua huruf tambahan itu menjadikan kata yang diletak menjadi ma’rifat atau definite (diketahui/dikenal). Pengguna bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal oleh benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan alihah (bentuk jamak dari Ilah) yang lain.

Selanjutnya dalam perkembangan lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, hamzat yang berada antara dua lam yang dibaca (i) pada kata Al Ilah tidak dibaca lagi sehingga berbunyi Allah dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur Alam raya yang wajib wujud-Nya.
Sementara ulama berpendapat bahwa kata “Ilah” yang darinya terbentuk kata “Allah”, berakar dari kata Al-Ilahah, Al-Uluhah, dan Al-Uluhiyah yang kesemuanya menurut mereka bermakna ibadah/penyembahan, sehingga “Allah” secara harfiah bermakna Yang Disembah.

Ada juga berpendapat bahawa kata tersebut berakar dari kata “alaha” dalam arti mengherankan atau “menakjubkan” karena segala perbuatan/ciptaanNya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekatnya akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut hakekat zat Allah maka Allah tidak demikian.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata “Allah” terambil dari akar kata “Aliha Ya’lahu” yang berarti “tenang”, karena hati menjadi tenang bersamaNya, atau dalam arti “menuju” dan “bermohon”, karena harapan seluruh makhluk tertuju kepadaNya dan kepadaNya jua makhluk bermohon.

Memang setiap yang dipertuhan pasti disembah, dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan, lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata “Ilah” dan juga “Allah” secara harfiah bemakna demikian ? Apakah Al Quran menggunakannya untuk makna “yang disembah” ?

Para ulama yang mengartikan Ilah dengan “yang disembah” menegaskan bahwa Ilah adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan oleh akidah Islam; seperti terhadap matahari, bintang, bulan manusia atau berhala; maupun yang dibenarkan dan diperintahkan oleh Islam, yakni zat yang wajib wujudNya yakni Allah swt.

Karena itu, jika seorang Muslim mengucapkan “laa ilaha illa Allah” maka dia telah menafikan segala tuhan kecuali Tuhan yang namaNya, Allah. QS Al A’raf 7:127 yang dibaca ‘wayazaraka wa ilahataka’. Kata (Ilahataka) dalam bacaan ini adalah ganti dari kata Alihataka yang berarti sesembahan dan yang merupakan bacaan yang syah dan populer. Ada juga yang berpendapat Ilah adalah “Pencipta, Pengatur, Penguasa alam raya, yang di dalam genggaman tanganNya segala sesuatu”. Misalnya firman Allah dalam surat Al Anbiya 21:22.

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.

Pembuktian kebenaran pernyataan ayat di atas, baru dapat dipahami dengan benar apabila kata Ilah diartikan sebagai Pengatur serta Penguasa Alam Raya yang di dalam genggaman tanganNya segala sesuatu.

Betapapun terjadi perbedaan pendapat itu namun agaknya dapat disepakati bahwa kata “Allah” mempunyai kekhususan yang tidak memiliki oleh kata selainnya; ia adalah kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya,... sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai “ismullah al-a’zam” (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doa, Allah akan mengabulkannya.

Dari segi lafaz terlihat keistimewaannya ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi Lillah dalam arti milik/bagi Allah; kemudian hapus huruf awal dari kata Lillah itu akan terbaca “Lahu..” dalam arti bagiNya selanjutnya hapus lagi huruf awal dari “lahu” akan terdengar dalam ucapan Hu yang berarti Dia (menunjuk Allah) dan bila inipun dipersingkat akan dapat terdengar suara Ah yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan tetapi pada hakekatnya adalah seruan permohonan kepada Allah.

Karena itu pula sementara ulama berkata bahwa kata “Allah” terucapkan oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak. Itulah salah satu bukti adanya fitrah dalam diri manusia sebagaimana diuraikan pada bagian awal tulisan ini. Al Quran juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik ,

“Sesungguhnya! jika engkau bertanya kepada mereka: Siapakah yang mencipta langit dan bumi? Sudah tentu mereka akan menjawab: Allah. Katakanlah: Bagaimana fikiran kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah itu? Jika Allah hendak menimpakan aku sesuatu bahaya, dapatkah mereka menghapuskan bahaya-Nya itu; atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, dapatkah mereka menahan rahmatnya itu? Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku; kepada-Nyalah hendaknya berserah orang yang mahu berserah diri”. (QS. Azzumar 39:38).

Dari segi makna dapat dikemukakan bahwa kata Allah mencakup segala sifat-sifatNya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-sifat tersebut, karena itu jika Anda berkata, “Ya Allah” maka semua nama-nama/sifat-sifatNya telah dicakup oleh kata tersebut. Di sisi lain jika Anda berkata Ar Rahiim (Yang Maha Pengasih) maka sesungguhnya yang Anda maksud adalah Allah demikian juga jika Anda berkata : Al Muntaqim (yang membalas kesalahan) namun kandungan makna Ar Rahiim tidak mencakup pembalasanNya, atau sifat-sifatNya yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang harus menggunakan kata “Allah” ketika mengucapkan Asyhadu an La Ilaha Illa Allah dan tidak dibenarkan mengganti kata Allah tersebut dengan nama-namaNya yang lain, seperti Asyhadu An La Ilaha illa ArRahman Ar Rahim.

Haqqulloh – Rohmatulloh – Ridho Alloh
Sekian…….



Artikel Terkait:

8 komentar:

Air Setitik Team 18 Desember 2008 pukul 16.32  

Mohon kunjungi blog kami terupdate di http://airsetitik.tk

Terima kasih dan salam,

Airsetitik Team

Ondi Sembahulun 14 Juni 2016 pukul 23.06  

Terima kasih sangat bermanfaat

Ondi Sembahulun 14 Juni 2016 pukul 23.07  

Terima kasih sangat bermanfaat

Rohmat salim 30 Desember 2019 pukul 05.43  

Sangat bermanfaat,terimakasih

Anonim,  23 Maret 2022 pukul 05.19  

اسمع يا اسرائيل. الرب الهنا رب واحد.

Posting Komentar

BERITA TERBARU


BLOG KELUARGA

Blog Archive

  © Blogger templates The Professional Template by Kang Anwar 2009

Back to TOP